Jumat, 30 Desember 2011

PROGRESIFITAS UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP



Oleh : Muamar[1]

PENDAHULUAN
Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan lingkungan hidup telah menjadi perhatian bersama warga dunia. Sikap concern warga dunia terhadap lingkungan hidup diimplementasikan dengan diselenggarakan konferensi Stockholm 1972. Konferensi ini merupakan tonggak bersejarah bagi perkembangan hukum lingkungan.

Menelisik historisitas hukum lingkungan, sejatinya persoalan ini sudah pernah diatur dizaman dulu. Ini bisa kita lihat dari peraturan zaman romawi tentang jembatan air (aqueducts)[2]. Dalam kitab Suci Al-Qur’an juga dikatakan bahwa” telah tampak kerusakan dibumi dan dilautan disebabkan oleh tangan-tangan manusia”. Ini merupakan suatu penegasan bahwa manusia memberikan andil besar terhadap perusakan lingkungan hidup.

Indonesia sebagai Negara yang berposisi diantara dua benua dan dua samudera serta wilayah yang dikelilingi oleh gunung berapi rentan terhadap bencana alam dan persoalan lingkungan lainnya. Atas dasar itulah pasca konferensi Stockholm kesadaran pemerintah tentang perlindungan lingkungan hidup meningkat, ini dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Seiring berjalan waktu Undang-Undang No.4 Tahun 1982 dirasa tidak mampu mengadaptasi persoalan lingkungan yang semakin kompleks, maka pemerintah menggantikannya dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 terdiri dari 11 Bab dan 52 Pasal. Inipun dianggap tidak mampu bersifat elastis terhadap persoalan lingkungan sehingga diganti dengan Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PEMBAHASAN
Beberapa perbedaan mendasar dan mencerminkan progresifitas UU No.32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup antara lain:
a.      Definisi tentang Pencemaran Lingkungan Hidup;
b.      Definisi tentang Perusakan Lingkungan Hidup;
c.       Instrumen KLHS;
d.      Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah
e.      Pendayagunaan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana;
f.        Penegakan hukum terpadu;

PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Definisi pencemaran lingkungan dalam Undang-undang No.23 Tahun 1997 yakni “masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energy dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya;[3]
Definisi pencemaran lingkungan hidup dalam undang-undang No.32 Tahun 2009 adalah : “masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energy dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan[4]

Jika dicermati secara detail, ada perbedaan mendasar tentang definisi pencemaran lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 dengan UU No.32 Tahun 2009. Perbedaan tersebut adalah:
1.       UU No.23 Tahun 1997 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya;

2.      UU No.32 Tahun 2009 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan


Pada UU No.23 Tahun 1997 pengertian “…………sehingga kualitas lingkungan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya..”

Konsekuensi yang muncul akibat pengertian tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya menimbulkan multitafsir antara aparat penegak hukum sehingga hakim menjadi sangat bebas dalam memaknai tentang pencemaran lingkungan hidup dan berakibat pada banyaknya kasus yang diputus bebas (Vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (Oonslaag).

Untuk mengatasi diskresi hakim yang begitu besar dalam memaknai pencemaran lingkungan hidup maka UU No.32 Tahun 2009 mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai “…………masuk atau dimasukannya mahluk hidup dll sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Dalam UU No.32 tahun 2009 definisi tentang pencemaran lingkungan hidup dibatasi pada melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri LH, sehingga hakim terikat pada criteria yang tetapkan dalam baku mutu lingkungan hidup dan tidak dapat menafsirkan lain dalam memutuskan suatu perkara.


PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Perbedaan lain adalah definisi tentang perusakan lingkungan hidup, definisi ini dapat kita lihat sebagai berikut:

Perusakan lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan[5].

Perusakan lingkungan hidup dalam UU No.32 Tahun 2009 adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui criteria baku kerusakan lingkungan hidup[6]
Pemaknaan perusakan lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 “……. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan merupakan suatu definisi yang abstrak serta tidak mempunyai batasan yang jelas. Ini turut memberikan andil untuk hakim bebas menafsirkan perusakan lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada putusan yang tidak berpihak pada lingkungan hidup.

Untuk mengatasi persoalan tersebut maka UU No.32 Tahun 2009 mendefinisikan perusakan lingkungan hidup sebagai “…………tindakan yang menyebabkan perubahan….sehingga melampaui criteria baku kerusakan lingkungan hidup”
Definisi yang rigid dan memberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perusakan lingkungan hidup membuat hakim tidak bisa menafsirkan hukum dengan leluasa dan harus terikat pada definisi sebagaimana yang tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009.


INSTRUMEN KLHS
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah instrumen baru dalam undang-undang no.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Definisi KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

Dilihat dari definisi diatas KLHS merupakan suatu upaya preemptive yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih mengintegrasikan suatu kebijakan, rencana dan/atau program yang berwawasan lingkungan dan mendukung konsepsi pembangunan berkelanjutan.
KLHS dilaksanakan berdasarkan prinsip:[7]
a.      terpadu;
b.      berkelanjutan;
c.       fokus;
d.      transparan;
e.      akuntabel;
f.        partisipatif; dan
g.      iteratif.
Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis dilakukan pada daerah atau wilayah yang berpotensi :[8]
a.      meningkatkan risiko perubahan iklim;
b.      meningkatkan kerusakan, kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman hayati;
c.       meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;
d.      menurunkan mutu dan kelimpahan sumber daya alam terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;
e.      mendorong perubahan penggunaan dan/atau alih fungsi kawasan hutan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;
f.        meningkatkan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan (livelihood sustainability) sekelompok masyarakat; dan/atau
g.      meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

Berbeda dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bersifat insidentil dan kasuistis, Kajian Lingkungan Hidup Strategis bersifat holistic dengan memadukan hal-hal yang bersifat lintas lembaga, isu dalam sebuah kebijakan, rencana dan/atau program. Ini dapat dimengerti karena berbagai lembaga cenderung membuat kebijakan bersifat sektoral. Dan dengan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis diharapkan lahir suatu kebijakan yang memadukan unsur ekonomi, social dan lingkungan yang pada akhirnya dapat menyelamatkan lingkungan.

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009
Kelebihan hukum pidana dengan instrumen hukum lain : administrasi, perdata adalah terletak pada sifat penjeraan. Dimana orang (orang perseorangan dan/atau badan usaha berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) akan ditimpakan pidana atau nestapa atas perbuatannya yang memenuhi unsur pidana dan mempunyai unsur kesalahan.

Berbeda dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tidak memuat ancaman minimum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan, dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum.

Jenis Sanksi
UU 23/1997
UU 32/2009
PIDANA
Minimum
Tidak ada
1 tahun
Maksimum
15 Tahun
15 tahun
DENDA
Minimum
Tidak ada
500 juta rupiah
Maksimum
750 juta rupiah
15 miliar rupiah
Tabel perbandingan jenis sanksi pidana dan denda antara UU 23/1997 dengan UU 32/2009
Tujuan dari pembatasan hukuman minimum adalah hakim “dipaksa” untuk memvonis suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup dengan mengacu pada batasan minimum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang no.32 Tahun 2009. Sehingga diharapkan dari putusan tersebut melahirkan efek jera bagi pelaku tindak pidana lingkungan hidup.

Selain jenis hukuman minimum yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009, hal lain yang baru adalah perluasan alat bukti sebagai mana dimuat dalam pasal 96 :
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a.      keterangan saksi;
b.      keterangan ahli;
c.       surat;
d.      petunjuk;
e.      keterangan terdakwa;dan/atau
f.        alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alat bukti dalam huruf f merupakan alat bukti baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No.23 Tahun 1997. Perluasan alat bukti ini dipandang perlu sebab motif, alat untuk melakukan kejahatan lingkungan tidak terbatas pada hal-hal yang konvensional namun juga seiring perkembangan zaman telah maju .

Pengaturan tentang tindak pidana korporasi (baca : perusahaan) merupakan bukti progresifitas UU No.32 Tahun 2009. Korporasi sebagai subjek hukum (rechtpersoon) selain daripada manusia (persoonlijk) merupakan pelaku yang dominan dalam kejahatan lingkungan. Jarang kita melihat, mendengar bahwa perusakan dan/atau pencemaran dilakukan oleh orang perorang sebab motif orang melakukan kejahatan lingkungan adalah ekonomi.
Atas dasar itu UU No.32 Tahun 2009 mengatur pidana korporasi dalam pasal 116 :
1)      apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.      badan usaha; dan/atau
b.      orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
2)     Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Secara teoritis pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) merupakan suatu hal yang telah lama menjadi bahan diskursus. Korporasi sebagai subjek hukum dapat bertindak secara mandiri dalam melakukan perbuatan hukum (perjanjian, kontrak, dapat menuntut dan dituntut dipengadilan). Namun  sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.  Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.[9]

Secara praktek kesulitan hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam upaya memidanakan korporasi adalah sulitnya mengidentifikasi niat jahat (mens rea) dan tindakan tertentu yang melanggar hukum (actus reus). Dalam rezim sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk  dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act)[10] serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind)[11] dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. 

Untuk mengidentifikasi unsur kesalahan (mens rea dan actus reus) dalam tindak pidana korporasi maka UU No.32 Tahun 2009 menggunakan doktrin Vicarius liability suatu doktrin yang membebankan suatu tanggung jawab hukum atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Doktrin ini juga disebut dengan pengalihan tanggung jawab. Syarat-syarat agar dapat diterapkan teori ini adalah terjadinya suatu hubungan kerja atau hubungan yang bersifat kontraktual. Suatu tindakan yang dilakukan oleh pegawai rendahan dalam sebuah korporasi dan tindakan tersebut atas perintah dan/atau kebijakan perusahan maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum adalah Direktur dan korporasi. Sedangkan pegawai rendahan tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena hanya menjalankan perintah.
Syarat-syarat untuk dapat dipidananya direktur atas tindakan bawahan adalah dijalankan atau tidak business judgement rule yaitu suatu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.[12]

Tolak ukur agar direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana adalah pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.  Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus  (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi.    Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.[13]

KESIMPULAN
1.       Definisi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimuat dalam UU No.32 Tahun 2009 sangat jelas, dimana tolak ukur terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup mengacu kepada baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
2.      KLHS merupakan suatu upaya preemptive yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih mengintegrasikan suatu kebijakan, rencana dan/atau program yang berwawasan lingkungan dan mendukung konsepsi pembangunan berkelanjutan;
3.      Penegakan hukum lingkungan secara spesifik pidana lingkungan mengalami kemajuan, dimana dalam UU No.32 Tahun 2009 diatur tentang pidana minimum dan denda minimum;
4.      Perluasan alat bukti dalam pidana lingkungan hidup sebagaimana dimuat dalam pasal 96. Perluasan ini mengantisipasi perkembangan zaman yang semakin sophisticated;
5.      Pelaku pidana lingkungan hidup secara mayoritas dilakukan oleh korporasi, dan UU No.32 Tahun 2009 telah mengatur dalam pasal 116. Secara teoritis  pidana korporasi mengacu pada doktrin Vicarius liability.


[1] Muamar. Praktisi hukum lingkungan. Bekerja di Asdep Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup. Semasa kuliah pernah menjadi Presiden Mahasiswa UNIS Tangerang 2006-2008, 2008-2009 dan juga sebagai Ketua Dewan Wilayah Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) Provinsi Banten 2006-2008. Tulisan ini pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.

[2] Samsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional. hlm.106 
[3] Pasal 1 ayat 12 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[4] Pasal 1 ayat 14 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[5]  Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[6]  Pasal 1 ayat 16 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[7] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis
[8] Pasal 4 huruf b Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis
[9] Bismar Nasution, Makalah Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, hlm.4
[10] Actus Reus atau guilty act  adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku bertanggung jawab secara pidana jika unsur mens rea juga turut terbukti.

[11] Mens rea atau gulty mind adalah salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, disebut juga dengan pengetahuan atau tujuan yang salah.

[12] Teori Business judgment rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829. Lihat Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4

[13] Bismar Nasution, Op.Cit, hlm.12